Orang-orang dewasa sering meremehkan generasi penerusnya karena mengira masa jayanya akan bertahan untuk waktu lama. Mereka lupa, nantinya masa depan negara ditentukan angkatan muda masa kini.
KONFLIK dan ketegangan dalam diri anak-anak muda terutama timbul karena mereka tidak memiliki hak, wewenang, dan tanggung jawab, yang menurut mereka seharusnya dimiliki sesuai dengan keberangkatan dan kedatangan mereka di dunia orang dewasa, baik secara fisiologi maupun intelektual. Pada saat perhatian mereka mulai bangkit terhadap situasi sosial politik, mereka tidak berkesempatan berpartisipasi. Kekesalan mereka bertambah apabila melihat orang-orang dewasa berstandar ganda, lain kata lain perbuatan.
Jiwa orang muda yang relatif murni mulai memberontak dan mereka mendemonstrasikannya. Kelompok penentang kemapanan/kekuasaan ada di mana-mana, tidak mengenal batas waktu, ideologi, ataupun negara. Tidak ada yang bisa mengira-ngira sampai berapa jauh dampak sikap penentangan yang mereka demonstrasikan. Perjalanan sejarah Indonesia menyaksikan sejumlah angkatan anti kekuasaan yang berperan penting, masing-masing dengan ciri sendiri sesuai rangsangan situasi yang ada. Ini berlangsung sejak masa prarevolusi sampai masa perjuangan kemerdekaan dan proses-proses selanjutnya; dari angkatan yang mengucapkan Sumpah Pemuda, angkatan 45 yang memperjuangkan kemerdekaan, sampai angkatan66 dan angkatan-angkatan berikutnya yang menghendaki penyempurnaan sistem. Seluruh ekspresi penentangan dilakukan demi perubahan.
Satu hal yang patut ditengarai ialah aktivis-aktivis, yang sekarang meneriakkan sikap menolak kepemimpinan yang dianggap merugikan kepentingan rakyat, sebagian nantinya mungkin akan masuk jajaran pemimpin negara ini. Bukan tidak mungkin mereka pun pada gilirannya akan menganggap para penentang merugikan kepentingan nasional. Perubahan status bisa mengubah sikap dan perilaku.
Orang muda mendambakan perubahan
Rasanya tidak fair membandingkan anak muda sekarang dengan mereka dari generasi-generasi sebelumnya. Kesempatan dan rangsangan mereka berbeda. Anak muda sekarang terekspos pada banjir informasi yang mau tidak mau menimbulkan kecemasan karena melihat betapa besar kesenjangan yang ada antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Terkait dengan kericuhan di wilayah paling timur Indonesia, misalnya, sampai beberapa dasawarsa lalu penduduk daerah-daerah terpencil di Papua/ Papua Barat masih berbudaya zaman batu (The People Time Forgot, 1981). Pendidikan berjalan lamban di Tanah Air. Mengenai usaha peningkatan pendidikan, kita ketinggalan dari negara-negara yang tergolong maju di Asia. Kita ketinggalan dari RRC yang sekitar tiga dasawarsa yang lalu belum berbeda jauh dari kita.
Kira-kira dalam periode itulah RRC mengirimkan belasan ribu pemudanya untuk belajar teknologi ke Amerika, sekalipun hubungannya dengan Amerika belum seakrab sekarang akibat Perang Dingin. Sebaliknya, kita waktu itu malahan pernah melarang warga negara yang ingin meneruskan pendidikan ke luar negeri. Mungkin kita khawatir, jangan-jangan pendidikan luar akan menjauhkan warga dari akarnya. Padahal Bung Hatta dan banyak lainnya telah membuktikan lain.
Kira-kira dalam periode itulah RRC mengirimkan belasan ribu pemudanya untuk belajar teknologi ke Amerika, sekalipun hubungannya dengan Amerika belum seakrab sekarang akibat Perang Dingin. Sebaliknya, kita waktu itu malahan pernah melarang warga negara yang ingin meneruskan pendidikan ke luar negeri. Mungkin kita khawatir, jangan-jangan pendidikan luar akan menjauhkan warga dari akarnya. Padahal Bung Hatta dan banyak lainnya telah membuktikan lain.
Mempelajari apa yang diketahui masyarakat dunia berarti membuka cakrawala baru. Cakrawala baru memungkinkan terbukanya sejarah baru. Generasi muda memerlukannya.Dr J Lifton (1926-), ahli ilmu jiwa kenamaan dari Harvard yang menulis History and Human Survival (1970) antara lain mengupas tentang generasi tua dan muda. Dia mengatakan, sejarah baru adalah re-kreasi bentuk-bentuk kebudayaan manusia secara radikal. Bentukbentuk baru itu bukan lahir secara spontan, tetapi lanjutan atau perombakan dari yang sudah ada.
Orang-orang yang revolusioner di bidang politik yang berpikir secara revolusioner, bencana-bencana besar, dan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi juga mencanangkan tanda berakhirnya suatu era. Ini telah dibuktikan oleh revolusi-revolusi Amerika, Prancis, Rusia, dan China, oleh ide-ide Copernicus, Darwin dan Freud, dan yang paling dekat dengan kita, oleh revolusi teknologi yang memungkinkan bencana Auschwitz dan Hiroshima, serta memungkinkan terciptanya masyarakat elektronik pascamodern. Berakhirnya suatu era juga berarti larutnya pandangan-pandangan dan pola kehidupan lama.
Kenyataan itu membantu menjelaskan mengapa generasi tua dan generasi muda sering berbeda pendapat dan sikap. Yang tua, yang belum lupa akan kejutan bom atom Hiroshima, misalnya, masih sering melamun tentang kehidupan pra-Hiroshima yang diwarnai berbagai ideologi politik muluk-muluk, yang membuat orang saling berebut pengaruh dan akhirnya meledak menjadi konflik yang menyebar ke seluruh dunia. Yang muda beranggapan bahwa yang lebih mendesak sekarang ialah bagaimana mengejar hidup dalam abad nuklir yang labil ini, yang mengalami perubahanperubahan dalam segala hal secara radikal.
Rangsangan yang berpengaruh Akhir-akhir ini, beberapa hasil survei tentang capres 2014 tidak menawarkan tokoh-tokoh muda dalam deretan papan atas para calon yang disosialisasikan. Terlepas dari apakah survei-survei itu direkayasa atau tidak, pengungkapan keterlibatan sejumlah politikus muda dalam perkara penyalahgunaan wewenang tentunya merugikan citra kaum muda. Sekalipun yang terlibat hanya beberapa gelintir, kebetulan mereka memegang posisi-posisi penting.
Citra kaum muda tercoreng
Padahal bila dicermati, yang terjerat skandal sebenarnya hanya mengikuti kebiasaan lama yang dianggap mampu membawa kesuksesan. Rangsangan itulah yang mereka tangkap, tetapi terbukti menyesatkan. Tentu naif dan tidak adil bila masyarakat memakai kelompok yang salah langkah sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja kaum muda masa kini. Di arena politik sendiri, banyak tokoh muda lainnya yang memiliki idealisme tinggi dan pikiran cemerlang. Sayang, tidak banyak yang mendapat kesempatan bahkan dalam partainya sendiri. Adalah fakta bahwa paternalisme, kalau bukan feodalisme atau nepotisme, masih berlaku di kebanyakan partai politik Indonesia. Itu pun sesuai dengan budaya lama yang seharusnya kesahihannya diuji dalam menghadapi kehidupan modern.
Di luar arena politik, kaum muda, dengan spirit zaman mereka, berkarya untuk memberi respons terhadap tantangan di bidang masing-masing, yakni selain sosial politik dan ekonomi, juga seni budaya. Sekadar contoh, bulan lalu Eagle Awards Documentary Competition 2011 Bagimu Indonesia dalam tajuknya menyatakan bahwa dengan mata lensa, mereka rekam fakta dan realitas, menjadi saksi atas perubahan yang terjadi melalui karyakarya sineas muda Indonesia.
Film pemenang kompetisi, berjudul Presiden Abu-Abu, bercerita tentang tokoh yang dikenal sebagai presiden abu-abu dalam menyelesaikan berbagai persoalan warga Kampung Beting di Jakarta Utara. Intinya, penduduk marginal Kampung Beting berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara atas hak-hak sipilnya.
Banyak di antara kaum muda memiliki kepekaan rasa dan spirit untuk memenuhi tantangan zaman. Orang-orang dewasa sering meremehkan generasi penerusnya karena mengira masa jayanya akan bertahan untuk waktu lama. Mereka lupa, nantinya masa depan negara ditentukan angkatan muda masa kini. Seorang aktivis angkatan `66 pernah berkata, orang tua cenderung berorientasi ke belakang, orang muda berorientasi ke depan. Orang muda memiliki perspektif masa depan lebih panjang.
tulisan : Toeti Adhitama
0 comments:
Posting Komentar